Rabu, 04 Mei 2011

harmoni islam dan kristen


Harmoni Islam dan Kristen
Jan 5th, 2009
Betapa sikap saling menghargai dan menoleransi, bahkan dalam soal pelaksanaan ritual peribadatan pun, telah dikukuhkan oleh Nabi semenjak awal kehadiran Islam. Nabi Muhammad SAW dan Isa al-Masih atau Yesus Kristus adalah dua tokoh yang terlahir dari asal-usul orang tua yang sama, Nabi Ibrahim, walau dari ibu yang berbeda. Jika Isa al-Masih atau Yesus bersambung kepada isteri pertama Ibrahim, Sarah, maka Muhammad SAW memiliki silsilah ke isteri kedua, Hajar. Itu sebabnya, Nabi Muhammad sangat menghargai saudara sepupunya itu. Nabi bersabda, tidak ada orang yang paling dekat dengan Yesus selain aku. Hadits Bukhari menyebutkan, orang Islam yang mengimani Yesus Kristus dan Nabi Muhammad secara sekaligus akan mendapatkan dua pahala [Lihat Shahih al-Bukhary, hadits ke 3446].
Alkisah, ketika Nabi Muhammad memasuki Mekah dengan penuh kemenangan dalam Fathu Makkah dan menyuruh menghancurkan semua patung dan berhala, termasuk yang bernama Hubal, dia menemukan gambar Bunda Maria (Sang Perawan) dan Isa al-Masih (Sang Anak) di dalam Kakbah. Ia kemudian menyelamatkan dua gambar itu dengan memasukkannya ke dalam jubahnya (Lihat al-Arzaqi, Akhbar Makkah, hlm. 165-169). Patung Maryam yang terletak di salah satu tiang Kakbah dan patung Yesus Kristus di Hijirnya yang dipenuhi berbagai hiasan, dibiarkan berdiri tegak (Kardi Ali, al-Islam wa al-Hadlarah, Juz I, hlm. 123). Tindakan ini diceritakan berbagai sumber sebagai bentuk Penghargaan Muhammad terhadap Yesus dan ibundanya. Bahkan, penghargaan itu bukan hanya terhadap pribadi Yesus, melainkan juga pada para pengikuttnya.
Dikisahkan bahwa Nabi pernah menerima kunjungan para tokoh Kristen Najran yang berjumlah 60 orang. Rombongan itu dipimpin Abdul Masih, al-Ayham, dan Abu Haritsah bin Alqama. Abu Haritsah adalah seorang tokoh yang disegani karena kedalaman ilmu, dan konon, juga kerena beberapa karomah yang dimilikinya. Menunut Muhammad ibn Ja’far ibn al-Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah, mereka langsung menuju masjid. Saat itu, Nabi sedang melaksanakan salat ashar bersama para sahabatnya. Mereka datang dengan memakai jubah dan surban, pakaian yang juga lazim dikenakan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Ketika waktu kebaktian tiba, mereka pun tak harus mencari gereja. Nabi memperkenankan mereka untuk melakukan sembahyang di dalam masjid [Baca Ibnu Hisyam, al-Siyrah al-Nabawiyah, Juz II, hlm. 426-428].
Sikap yang sama juga ditunjukkan kalangan Kristen. Ketika umat Islam dikejar-kejar orang-orang kafir Quraisy Mekah, yang memberikan perlindungan adalah Najasyi, raja Abesinia yang Kristen. Ratusan sahabat Nabi termasuk Utsman bin Affan dan istrinya (Ruqayah, puteri Nabi), Abu Hudzaifah bin ‘Utbah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, Ja’far bin Abi Thalib, secara bergelombang hijrah ke Abesinia untuk menghindari ancaman pembunuhan kafir Quraisy. Di saat orang-orang kafir Quraisy memaksa sang raja untuk mengembalikan umat Islam itu ke Mekah, ia tetap pada pendirian bahwa pengikut Muhammad haruslah dilindungi dan diberikan hak-haknya, termasuk hak memeluk suatu agama. Dalam konteks itulah, menurut al-Qurthubiy dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an (Juz III, hlm. 597-598) dan Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Qur`an al-Hakim (Juz VIII, hlm. 3), surat al-Maidah ayat 82 diturunkan. Ayat itu berbunyi, “Sesungguhnya kamu akan jumpai yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman adalah orang-orang yang berkata: ’sesungguhnya kami ini orang-orang Nashrani’.” Waktu raja Najasyi meninggal dunia, Nabi Muhammad SAW pun melaksanakan salat jenazah dan memohonkan ampun atasnya (Ibnu Hisyam, al-Siyrah al-Nabawiyah, Juz I, hlm. 338).
Penggalan-penggalan cerita di atas sengaja saya kemukakan untuk menunjukkan kemesraan hubungan Islam dan Kristen, yang dilakonkan oleh Nabi Muhammad bersama umat kristiani di masanya. Betapa sikap saling menghargai dan menoleransi, bahkan dalam soal pelaksanaan ritual peribadatan pun, telah dikukuhkan oleh Nabi semenjak awal kehadiran Islam. Sejarah harmoni ini, bagi saya, mestinya menjadi modal berharga dan inspirasi bagi pembentukan kehidupan damai antara Islam dan Kristen di Indonesia yang kini kerap dilanda konflik dan ketegangan. (Abd Moqsith Ghazali)